FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMANDIRIAN BELAJAR DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA Nursyamsinar Nursiti
Kemandirian dalam belajar agaknya belum dimiliki oleh banyak pelajar. Ada guru yang mengatakan bahwa pelajaran sekarang banyak yang bersifat seperti ‘paku’, ia baru bergerak kalau dipukul dengan martil. Pelajar sekarang, walau tidak semuanya, banyak bersifat serba pasif. Dalam membaca buku-buku pelajaran saja misalnya, kalau tidak disuruh atau diperintahkan oleh guru, maka buku-buku tersebut akan tetap tidak tersentuh dan akan selalu utuh karena tidak dibaca. Demikian pula kerap kali siswa yang belajar di tingkat SLTA sekalipun dalam mengambil azas manfaat masih bersikap sebagai anak kecil. Mereka sering bertanya kepada bapak dan ibu guru ketika PBM sedang berlangsung, tentang pelajaran yang ditulis pada papan tulis apakah untuk disalin di buku atau tidak. Padahal kalau terasa ada manfaatnya mereka harus menyalinnya. Begitu pula dalam mengomentari keberadaan buku-buku pelajaran mereka yang jarang mereka sentuh. Mereka menjawab bahwa kalau guru tidak menyuruh untuk mengerjakan tugas-tugas rumah atau untuk membacanya, ya buat apa dibaca. Kalau begitu terlihat kecenderungan bahwa konsep mereka belajar yaitu baru berbuat kalau baru disuruh. Jadi kalau mereka tidak disuruh maka tentu agak terhentilah proses peningkatan pengembangan pribadi mereka. Cara belajar yang belum menunjukkan kemandirian dari kebanyakan para pelajar akan berlanjut terus. Andai kata mereka melanjutkan studi ke perguruan tinggi, mereka sering memilih jurusan yang salah dan kemudian memendam rasa sesal. Sering mereka mengambil jurusan hanya sekedar mode saja. Padahal sudah nyata sikap belajar mereka sangat santai maka mereka tetap memilih jurusan yang mana bagi pribadinya akan menemui banyak kesulitan dalam penyelesaian. Atau mereka memilih jurusan pada perguruan tinggi karena pengaruh atau setengah paksaan dari berbagai pihak. Efeknya adalah ‘drop out’ dari perguruan tinggi. Ketidakmandirian belajar seorang mahasiswa adalah warisan dari cara belajar ketika masih berada di tingkat SLTA. Begitu pula, ketidakmandirian siswa-siswa di tingkat SLTA adalah produk dari cara belajar ketika masih belajar di tingkat sekolah-sekolah yang lebih rendah dan seterusnya. Agaknya sampai saat sekarang memang masih banyak kritik tentang proses belajar mengajar di sekolah yang lebih cenderung bersifat ‘instruction’ atau mengajar daripada bersifat ‘education’ atau mendidik. Penyebabnya adalah bisa jadi karena guru hanya menguasai ilmu sebatas bidang studi semata, dan tidak pula begitu mendalam, atau dengan kata lain guru belum profesional dalam tugas dan tanggungjawabnya sebagai guru. Demikian pula dengan aktivitas guru-guru pada waktu senggang mereka, yang mana lebih gemar mengambil topik-topik ringan dan mengambang dalam berdialog, sementara tugas-tugas murid banyak yang tidak diperiksa, dan persiapan mengajar serba belum beres, adalah gambaran ketidakmandirian kalangan pendidik dalam menjalankan profesi mereka. Ketidakmandirian pelajar, guru-guru dan siapa saja dalam proses pematangan diri adalah merupakan batu sandungan untuk mencapai kemantapan sumber daya manusia. Akan percuma kata-kata SDM tetap diserukan oleh pemerintah lewat berbagai media massa, kalau setiap individu, warga negara tidak melakukan usaha kemandirian dalam belajar untuk menambah ilmu dan keterampilan-keterampilan lain. Untuk masa-masa sekarang agaknya kemandirian dalam belajar perlu untuk ditingkatkan. Ada banyak pihak perlu untuk melakukan introspeksi diri dan langsung bertindak. Bukan hanya melakukan introspeksi dan kemudian berteori. Sebab teori tanpa tindakan atau aplikasi tentu akan tetap sia-sia hasilnya. Oleh karena itu, dengan melihat permasalahan tersebut di atas, maka tidak heran kalau hasil belajar siswa kurang mencapai hasil yang diharapkan. Dengan demikian dalam tulisan ini pembahasan terfokus pada :
Sebenarnya konsep belajar mandiri berakar dari konsep pendidikan orang dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli seperti Garrison tahun 1997, Schillereff tahun 2001, dan Scheidet tahun 2003, ternyata belajar mandiri juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar mandiri sesuai untuk semua jenjang sekolah baik untuk sekolah menengah maupun sekolah dasar dalam rangka meningkatkan prestasi dan kemampuan siswa. Ada beberapa variasi pengertian belajar mandiri yang diutarakan oleh para ahli seperti dipaparkan Abdullah (2001:1-4) sebagai berikut: a. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi belajarnya) (Bolhuis; Garrison). b. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison). c. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey, & Firestone). d. Belajar Mandiri, justru sangat kolaboratif, karena siswa bekerja sama dengan para guru dan siswa lainnya di dalam kelas (Bolhuis; Corno; Leal). e. Belajar Mandiri mengembangkan pengetahuan yang lebih spesifik seperti halnya kemampuan untuk mentransfer pengetahuan konseptual ke situasi baru. Upaya untuk menghilangkan pemisah antara pengetahuan di sekolah dengan permasalahan hidup sehari-hari di dunia nyata (Bolhuis; Temple & Rodero). Jika para ahli di atas memberi makna tentang belajar mandiri secara sepotong-sepotong, maka Haris Mujiman (2005:1) mencoba memberikan pengertian belajar mandiri dengan lebih lengkap. Menurutnya belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki. Di sini belajar mandiri lebih dimaknai sebagai usaha siswa untuk melakukan kegiatan belajar yang didasari oleh niatnya untuk menguasai suatu kompetensi tertentu. Pengertian belajar mandiri yang lebih terinci lagi disampaikan oleh Hiemstra (1994:1) yang mendeskripsikan belajar mandiri sebagai berikut:
Burt Sisco dalam Hiemstra (1998: membuat sebuah model yang membantu individu untuk menjadi lebih mandiri dalam belajar. Menurut Sisco ada 6 langkah kegiatan untuk membantu individu menjadi lebih mandiri dalam belajar, yaitu: (a) Preplanning (aktivitas sebelum proses pembelajaran), (b) Menciptakan lingkungan belajar yang positif, (c) Mengembangkan rencana pembelajaran, (d) Mengidentifikasi aktivitas pembelajaran yang sesuai, (e) Melaksanakan kegiatan pembelajaran dan monitoring, dan (f) Mengevaluasi hasil pembelajar individu.
Menurut Hasan Basri (1994:54) kemandirian belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor yang terdapat di dalam dirinya sendiri (factor endogen) dan faktor-faktor yang terdapat di luar dirinya (faktor eksogen). a. Faktor endogen (internal) Faktor endogen (internal) adalah semua pengaruh yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya sejak dilahirkan dengan segala perlengkapan yang melekat padanya. Segala sesuatu yang dibawa sejak lahir adalah merupakan bekal dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan individu selanjutnya. Bermacam-macam sifat dasar dari ayah dan ibu mungkin akan didapatkan didalam diri seseorang, seperti bakat, potensi intelektual dan potensi pertumbuhan tubuhnya Fab. Faktor eksogen (eksternal) Faktor eksogen (eksternal) adalah semua keadaan atau pengaruh yang berasal dari luar dirinya, sering pula dinamakan dengan faktor lingkungan. Lingkungan kehidupan yang dihadapi individu sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang, baik dalam segi negatif maupun positif. Lingkungan keluarga dan masyarakat yang baik terutama dalam bidang nilai dan kebiasaan-kebiasaan hidup akan membentuk kepribadian, termasuk pula dalam hal kemandiriannya.
Chabib Thoha (1996:124-125) faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian dapat dibedakan dari dua arah, yakni :
Faktor dari dalam diri anak adalah antara lain faktor kematangan usia dan jenis kelamin. Di samping itu inteligensia anak juga berpengaruh terhadap kemandirian anak.
Adapun faktor dari luar yang mempengaruhi kemandirian anak adalah Kebudayaan, masyarakat yang maju dan kompleks tuntutan hidupnya cenderung mendorong tumbuhnya kemandirian dibanding dengan masyarakat yang sederhana. ) Keluarga, meliputi aktivitas pendidikan dalam keluarga, kecenderungan cara mendidik anak, cara memberikan penilaian kepada anak bahkan sampai cara hidup orang tua berpengaruh terhadap kemandirian anak. Muhammad Ali dan Muhammad Asrori (2002: 118-119) menyebutkan sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian, yaitu :
Orang tua memiliki sifat kemandirian tinggi sering kali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga.
Cara orang tua mengasuh dan mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remajanya.
Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokrasi pendidikan dan cenderung menenkankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian remaja sebagai siswa.
Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hierarki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan kemandirian remaja atau siswa. Selain faktor internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi kemandirian belajar siswa, juga diharapkan guru atau orang tua dapat mendorong siswa untuk mampu belajar mandiri. Seperti yang dikemukakan Schunk (1994) mengajukan saran kepada guru atau orang tua untuk membantu siswa atau anak agar menjadi self regulated learner dengan cara:
Berdasarkan penelitian, Shunck dan Zimmerman (1998) mengemukakan saran kepada guru untuk membantu siswa menjadi expert learners melalui: 1) Penggunaan strategi yang jelas dalam pembelajaran, misalnya strategi mengulang, elaborasi, organisasional, pemahaman dan pemantauan, dan strategi afektif. 2) Pengembangan keterampilan berfikir reflektif misalnya cara bertanya pada diri sendiri. 3) Latihan menerapkan self regulated learner, secara ekstensif dalam waktu lama dan diikuti dengan pemberian umpan-balik yang informatif dan korektif.
Menurut Paris dan Winograd (1998) mengajukan lima prinsip untuk memajukan self regulated learning pada guru dan siswa yaitu: 1) Penilaian diri (self appraisal) mengantar pada pemahaman belajar yang lebih dalam. Prinsip tersebut meliputi: a) menganalisis gaya dan strategi belajar personal dan membandingkannya dengan gaya dan strategi orang lain; b) Mengevaluasi apa yang diketahui dan yang tidak diketahui, dan mempertajam pemahaman diri untuk memajukan upaya yang efisien, dan c) penilaian diri secara periodik terhadap proses dan hasil belajar, pemantauan kemajuan belajar, dan meningkatkan perasaan kemampuan diri (self efficacy). 2) Pengaturan diri dalam berfikir, berupaya, dan memilih pendekatan yang fleksibel dalam pemecahan masalah. SRL (self regulated learning) bukan sekedar urutan langkah-langkah pengerjaan, namun merupakan rangkaian kegiatan yang dinamik dalam latihan pemecahan masalah, 3) Self regulated learning dan self regulated thinking tidak statik, tetapi berkembang seiring dengan waktu, dan berubah berdasarkan pengalaman. Self regulated dapat ditingkatkan melalui refleksi dan diskusi. 4) SRL (self regulated learning) dapat diajarkan melalui berbagai cara antara lain melalui: a) pembelajaran langsung, refleksi terarah, dan diskusi metakognitif; b) penggunaan model dan kegiatan yang memuat analisis belajar yang reflektif, dan c) diskusi tentang peristiwa yang dialami personal 5) SRL (self regulated learning) membentuk pengalaman naratif dan identitas personal
Melengkapi saran-saran yang telah dikemukakan, Butler (2002) menyatakan bahwa guru hendaknya membantu siswa rmelaksanakan siklus SRL (self regulated learning) secara fleksibel dan adaptif yaitu: menganalisis tugas, memilih dan menerapkan strategi, memantau diri dan merefleksi. Selama siklus berlangsung guru hendaknya: 1) Membantu siswa mengkonstruksi: pengetahuan metakognitif tentang: tugas-tugas akademiknya , strategi untuk menganalisis tugas, strategi untuk tugas yang khusus misalnya belajar matematika, keterampilan menerapkan strategi, dan strategi memantau diri sendiri dan strategi menggunakan umpan balik. 2) Mendorong siswa menumbuhkan berfikir metakognitif dalam menentukan tujuan tugas akademik; strategi untuk menganalisis tugas; pengetahuan metakognitif tentang tugas yang khusus; keterampilan menerapkan strategi, dan strategi untuk memonitor diri dan strategi untuk umpan balik. 3) Mendorong persepsi diri yang positif terhadap kemampuan diri dan motif pandangan diri. Persepsi keunggulan diri siswa akan mempengaruh tujuan yang disusun siswa, komitmen siswa terhadap tujuan, dan strategi belajar yang ditempuhnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai kemandirian belajar dalam meningkatkan hasil belajar siswa, di antaranya adalah :
Daftar Pustaka
Butler, D.L. (2002). Individualizing Instrction in Self-Regulated Learning. http//articles.findarticles.com/p/articles/mi_90190495 Corno L. & Randi, J. (1999). Self-Regulated Learning. http//www.personal.psu.edu/users/h/x/hxk223/self.htm Hargis, J. (http:/www.jhargis.co/). The Self-Regulated Learner Advantage: Learning Science on the Internet. Online Learning, Rochester Institute of Thechonology. (2000). Effective Teaching Thecniques for Distance Learning. Shunck, D.H., & B.J Zimmerman,.(1998). Introduction to the Self Regulated Learning (SRL) Cycle. http://mtsnsewulan.com Menggunakan Joomla! Generated: 13 September, 2011, 11:49 http://sutisna.com/artikel/artikel-kependidikan/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kemandirian-belajar/ |